Sejarah Pemilu 1955, Pesta Demokrasi Pertama Republik Indonesia

Image title
6 September 2023, 05:00
Pemilu, Pemilu 1955
Dok. Arsip Negara Republik Indonesia
Ilustrasi, lambang partai politik peserta Pemilu 1955 yang terpasang di bundaran Kebayoran Baru.

Penyelenggaraan pemilihan umum atau Pemilu yang dijadwalkan akan berlangsung pada 14 Februari 2024, hanya berjarak lima bulan lagi. Gelaran pesta demokrasi Indonesia ini, sangat dinatikan karena akan menentukan arah bangsa ke depan.

Sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia, terhitung sudah 12 kali Pemilu diselenggarakan, sejak 1955 hingga 2014 lalu. Masing-masing memiliki kisah yang mengiringi kedewasaan iklim politik Indonesia.

Menilik sejarahnya, pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia memang sedikit terlambat, karena baru diselenggarakan pertama kali setelah 10 tahun menyatakan kemerdekaannya. Seperti apa sejarah Pemilu 1955, serta apa saja kisah yang mengiringinya? Simak penjelasan selengkapnya dalam ulasan berikut ini.

Ilustrasi, Presiden Soekarno menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1955.
Ilustrasi, Presiden Soekarno menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1955. (Dok. Arsip Negara Republik Indonesia)

Tertunda 10 Tahun

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pelaksanaan pemilihan umum pertama di Indonesia tergolong terlambat, karena baru dilaksanakan 10 tahun setelah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Sejatinya, Pemilu pertama Indonesia direncanakan untuk terlaksana lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Hal ini tertuang dalam maklumat yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945, yang disebut Maklumat X.

Maklumat ini berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik, dan menyebutkan, bahwa Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan diselenggarakan pada Januari 1946.

Meski demikian, ada beberapa faktor yang akhirnya membuat Indonesia menunda penyelenggaraan pemilihan umum hingga akhirnya baru bisa dilaksanakan 10 tahun kemudian.

Beberapa faktor yang membuat Pemilu pertama tertunda, antara lain belum stabilnya kondisi politik akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu. Artinya, saat itu para pemimpin bangsa Indonesia lebih disibukkan oleh konsolidasi.

Selain itu, pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949, Republik Indonesia masih harus mempertahankan kemerdekaan dari gangguan eksternal, yakni kedatangan Belanda yang hendak menguasai kembali bekas koloninya.

Namun, bukan berarti selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah tersebut, wacana Pemilu sama sekali dipinggirkan. Pemerintah tetap menunjukkan indikasi kuat untuk menyelenggarakannya.

Salah satu buktinya, adalah pengesahan Undang-undang Nomor 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949. Di dalam UU 12/1949, diamanatkan bahwa pemilihan umum akan dilakukan secara bertingkat atau tidak langsung. Sistem ini dipilih, karena mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga, jika Pemilu dilaksanakan secara langsung, dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB), bentuk negara berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), sehingga pemilihan umum kembali tertunda. Baru setelah pemerintah memutuskan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1950, wacana pemilihan umum kembali disuarakan. Hal ini sesuai dengan pasal 57 UUD Sementara (UUDS), yang menyatakan anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Saat itu, pemerintah melalui Perdana Menteri Mohammad Natsir memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen.

Pembahasan UU Pemilu kemudian dilanjutkan pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo, yang berkuasa sejak 27 April 1951 hingga 23 Februari 1952. Hingga akhir masa pemerintahannya, Kabinet Soekiman juga belum berhasil menuntaskan UU Pemilu.

UU tentang pemilihan umum ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Perdana Menteri Wilopo pada 1953. Pada masa kepemimpinannya, lahir UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan oleh pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Pada Pemilu 1955 kontestan tidak hanya berasal dari partai politik, namun juga organisasi massa dan calon perorangan, yakni orang tidak berpartai. Pemilihan anggota DPR diikuti oleh 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perorangan.

Sedangkan pemilihan anggota Konstituante diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perorangan. Mereka memperebutkan 520 kursi Konstituante. Para peserta Pemilu 1955 bisa mengajukan nama-nama calon anggota DPR dan Dewan Konstituante pada bulan Desember 1954.

Persiapan Perangkat Penyelenggaraan dan Sosialisasi Pemilu 1955

Ilustrasi, Presiden Soekarno memberikan amanat pada pembukaan konferensi PPI, 29 Maret 1954.
Ilustrasi, konferensi Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), 29 Maret 1954. (Dok. Arsip Negara Republik Indonesia)

Berdasarkan catatan Arsip Negara Republik Indonesia (ANRI), ujung tombak penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kehakiman.

Kedua kementerian tersebut menyusun perangkat hukum dan struktur kepanitiaan Pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kehakiman bekerja sama dengan Kantor Pemilihan Pusat (KPP), yang dibentuk melalui UU No. 17 tahun 1948.

1. Pembentukan Perangkat Penyelenggaraan Pemilu 1955

Dalam rangka penyusunan struktur panitia Pemilu 1955, Menteri Kehakiman mengeluarkan instruksi No.JB.2/9/3 pada 7 Juli 1953 tentang penggantian nama Kantor Pemilihan Pusat (KPP), Kantor Pemilihan (KP), dan Kantor Pemungutan Suara (KPS).

Ketiga badan penyelenggara Pemilu tersebut berganti nama menjadi Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan (PP), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Penjelasan mengenai susunan kepanitian Pemilu 1955 tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JB.2/9/4 Und dan 5/11/37/KDN, yakni seperti berikut:

  • Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)

PPI bertugas mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya lima orang dan sebanyak-banyaknya sembilan orang dengan masa kerja empat tahun.

  • Panitia Pemilihan (PP)

PP dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persiapan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Dewan Konstituante dan anggota DPR. Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya lima orang anggota dan sebanyak-banyaknya tujuh orang anggota dengan masa kerja empat tahun. Sejak Januari 1954, struktur PP di daerah-daerah mulai dibentuk.

  • Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK)

PPK dibentuk di setiap kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu PP mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Dewan Konstituante dan anggota DPR.

  • Panitia Pemungutan Suara (PPS)

PPS dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mengesahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota Dewan Konstituante dan anggota DPR, serta menyelenggarakan pemungutan suara.

Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya lima orang anggota dan camat, karena jabatannya menjadi Ketua PPS merangkap anggota. Wakil ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas nama Menteri Dalam Negeri.

Selain membentuk perangkat penyelenggaraan Pemilu, pemerintah juga segera melakukan pendataan dan pendaftaran pemilih. Prosesnya dimulai pada Mei dan selesai pada November 1954. Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak pilih minimal telah berusia 18 tahun atau sudah menikah.

Pada saat itu tercatat ada 43.104.464 pemilih dari total 77.987.879 penduduk Indonesia. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut, maka ditetapkan kursi yang diperebutkan untuk anggota Konstituante sebanyak 520 kursi dan DPR 260 kursi.

2. Sosialisasi Pemilu 1955

Ilustrasi, petugas memberikan sosialisasi kepada warga terkait Pemilu 1955.
Ilustrasi, petugas memberikan sosialisasi kepada warga terkait Pemilu 1955. (Dok. Arsip Negara Republik Indonesia)

Pemerintah juga gencar melakukan sosialisasi Pemilu 1955, untuk memberi gambaran kepada masyarakat luas mengenai proses pelaksanaan pemilihan umum berikut tujuannya.

Melalui kegiatan sosialisasi, diharapkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 1955 menjadi besar. Sosialisasi dilakukan dalam berbagai media, termasuk melalui pemasangan baliho, pamflet, dan poster di berbagai tempat strategis.

Mengenai siapa saja yang memiliki hak pilih dan yang tidak memiliki hak pilih, juga disosialisasikan dalam berbagai media. Orang yang memiliki hak pilih   adalah WNI baik laki-laki maupun perempuan, telah berusia 18 tahun atau sudah/pernah menikah, berpikiran sehat, dan tidak sedang menjalankan hukuman. Ini berlaku juga untuk orang asing yang telah menjadi WNI.

Sedangkan orang yang tidak memiliki hak pilih, adalah seseorang yang tidak didaftar sebagai pemilih, bukan WNI atau menolak menjadi WNI, belum berusia 18 tahun, terganggu pikirannya atau gila, dan sedang menjalani hukuman.

Sosialisasi juga dilakukan secara langsung melalui penyuluhan oleh panitia pemilihan atau petugas jawatan penerangan kepada masyarakat calon pemilih.

Adapun, anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan Polisi juga memiliki hak pilih, di mana mereka didaftar di asrama masing- masing. Jika pada saat hari pemilihan, anggota APRI dan Polisi sedang melaksanakan tugasnya di daerah lain, maka mereka tetap dapat menggunakan hak pilihnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...